MEMFORMAT KELUARGA, SEKOLAH &
MASYARAKAT
SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN
AGAMAYANG VISIONER
Abstrak: Pendidikan agama (penanaman aqidah) yang diberikan kepada anak harus dimulai sejak dini. Pendidikan tersebut harus konsisten. Artinya apa yang diberikan kepada anak di lingkungan keluarga yang sudah dimulai sejak sang anak masih dalam bentuk janin harus sama (satu visi) dengan apa yang diberikan kepadanya di sekolah dan masyarakat. Orientasi filosofi dan visi pendidikan agama yang diberikan kepada anak di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat memuat filosofi yang sama yaitu berorientasi pada kalimat tauhid (Laa ilaaha ilallah). Tulisan ini akan memaparkan institusi keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan dalam konteks pendidikan agama anak.
Kata Kunci: Anak dan Lembaga Pendidikan yang Visioner
Pendidikan agama anak, menurut Islam, harus dilakukan sejak janin masih berada dalam kandungan bahkan dimulai sejak proses mencari pasangan (swami isteri).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim disinyalir bahwa Rasulullah saw bersabda (yang isinya menyatakan): "Perempuan itu dinikahi karena 4 (empat) alasan; hartanya, kedudukannya, kecantikannya, agamanya. Hendaklah engkau memilih alasan karena agama, niscaya engkau bahagia". Fadzfar bizaati-ddin (hendaklah kamu memilih dengan alasan agama).
Beragama yang dimaksud oleh hadits ini sudah tentu beragama yang intrinsik (refleksi dari kondisi hati). Cara beragama interinsik me - mandang agama sebagai "comprehensive commitmen dan driving integrating motive" (Jalaluddin Rahmat, 1986:5), yang mengatur seluruh hidup seseorang. Cara beragama seperti inilah yang harus dipilih, bukan yang cantik dan kaya raya tapi rawan iman.
Setelah menikah dengan pasangan yang ideal seperti dimaksud di atas kemudian orang tua diwajibkan memelihara kehamilan (rajin sholat, membaca al-Qur'an, mendawamkan do'a dan dzikir), mengkonsumsi makanan halal (baik jenis maupun cara mendapatkannya).
Setelah lahir, anak diadzankan dan diiqomahkan serta diberi nama yang baik. Artinya kalimat yang pertama kali harus masuk ke telinga sang bayi adalah Lafdzul Jalalah (Laa ilaaha illallah) bukan suara merdu Evi Tamala. Selanjutnya orang tua diminta untuk membayar aqiqah, dikhitan. Usia 7 (tujuh) tahun diajak sholat dan ketika memasuki usia 10 tahun frekuensi dan kapasistas sholatnya mulai diinterrsifkan. Inilah contoh pendidikan agama anak sedini mungkin.
Visi pendidikan agama dimaksud di atas harus berlanjut terus hingga ruh berpisah dari badan. Artinya konsep tauhid "Laa ilaaha illallah" tertanam di hati anak manusia hingga mewarnai seluruh hidup dan kehidupannya. Untuk itu diperlukan pendidikan yang integral baik dari orang rua atau keluarga, sekolah maupun masyarakat.
A. Pendidikan Agama di Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah susunan paling bawah dari keseluruhan institusi suatu negara yang di dalamnya terdapat individu-individu dengan posisi dan kedudukannya masing-masing. Keluarga yang dimaksud di sini adalah keluarga dalam pengertian kelompok kecil masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak serta orang lainnya (misalnya anak angkat) yang tinggal bersama-sama dalam satu rumah dan hubungan mereka berakar pada jalinan rasa cinta kasih.
Keluarga dalam pengertian di atas, di lihat dari keseluruhan keleznhagaan suatu negara memang berada pada kerangka yang paling bawah. Tetapi dilihat dari fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang pertama (awal) bagi anggotanya (Baca: anak-anak), maka keluarga ini merupakan institusi sosial yang sangat menentukan baik bagi masa depan bangsa maupun anak-anak itu sendiri kelak dalani bermasyarakat, berbangsa dan bemegara. Dalam kaitan ini, Willam J. Goode (1985:16) menyatakan bahwa: "Pada saat sebuah lembaga mulai membentuk kepribadian seseorang dalam persoalan penting, keluarganya tentu banyak berperan dalam persoalan itu, dengan mengajarnya kemampuan berbicara dan menjalankan banyak fungsi sosial".
Dilihat dari aspek fungsi, seperti yang dimaksud pada penjelasan di atas, tampak jelas bahwa keluarga merupakan sebuah jaringan social yang sangat menentukan. Mengapa? Karena, menurut (Yunan Nastztion, 1977:14) bahwa "keadaan suatu masyarakat tergantung pada keadaan keluarga. Keadaan keluarga itu tercermin dalam kehidupan masyarakat yang diperolehnya di lingkungan keluarga sebagai anggota keluarga".
Selanjutnya dalam buku Patologi Sosial, Kartini Kartono (1986:26) menyatakan: "Kurang lebih 90% dari jumlah anak-anak delinkuen berasal dari keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak". Dalam kajiannya tentang mental disorder, Kartini Kartono (1988:281) menyatakan: "Keluarga itu merupakan lembaga pertama dan paling utama untuk memanusiakan dan mensosialisasikan anak manusia. Di sinilah (di dalam keluarga) anak belajar melakukan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya, mengenali aturan-aturan hidup dan norma-norma susila tertentu. Di tengah-tengah keluarga itulah anak mendapatkan cinta kasih, bimbingan dan perlindungan. Melalui pemahaman ini anak mulai. mengerti simpati, kasih sayang, solidaritas, loyalitas keluarga yang murni. Dan tumbuhlah sosialitas sejati".
Satu hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan adalah keteladanan orang tua dalam mengemudikan roda rumah tangga atau keluarga. Hasan Langgulung (1985:51) dalam hal ini menyatakan bahwa: "Proses sosialisasi berlaku sejak kanak-kanak masih bayi. Dalam masa itu agen sosialisasi satu-satunya adalah ibu bapak. Apa yang dikatakan, dibuat, atau dilarang oleh orang tua akan diturut si anak dengan segala senang hati. Tetapi kalau si anak memperhatikan ada pertentangan antara tingkah laku orang tuanya, maka si anak akan menjadi bingung, yang menjadi sebab si anak membantah dan mendurhakai orang tuanya. Misalnya, si ayah menyuruh aak sembahyang sementara si ayah sendiri tidak sembahyang.
Jadi sebenarnya jika orang tua menginginkan cara haidup anakanak mereka tidak bertentangan dengan norma agama. Maka yang diinginkan tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan mereka terhadap apa yang kita ingini tersebut. Misalnya ucapan salam, hal ini dapat dikomunikasikan dengan anak melalui pergaulan sehari-hari dalam rumah tangga atau di lingkungan keluarga. Cotoh lain misalnya pelaksanaan sholat berjama'ah dengan anak-anak. Sholat yang dikerjakan bersamasama seperti itu akan lebih efektif dari pada anak hanya dijejali dengan perintah-perintah tanpa ada contoh tauladan dari pihak orang tua.
Visi mewujudkan anak-anak yang sholeh dan sholehah harus dirumuskan oleh kedua orang tua sejak anak itu sendiri belum terlahir ke dunia. Dari visi ini orang tua akan menjadikan rumah tangganya tidak hanya sebagai satu keluarga baru tetapi juga menjadi satu lembaga pendidikan baru yang sudah siap untuk mencetak generasi umat yang siap menjawab tantangan zaman. Orang tua yang visioner adalah orang tua yang menyiapkan dirinya untuk menjadi pendidikan pertama bagi anak-anaknya dengan tujuan dan target yang jelas dan terukur yang pada gilirannya anak tersebut akan muncul sebagai subjek dari perubahan sosial dan budaya. Bukan menjadi objek dari satu perubahan sosial dan budaya.
B. Pendidikan Agama di Sekolah
Sekolah dilihat dari posisinya sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peluang sangat besar dalam pernbinaan clan penanaman nii ainilai keagamaan (Islam) yang pelaksanaannya melibatkan seluruh guru clan karyawan yang bertugas di sekolah tersebut. Athiyah al-Abrasyi (1970:1) sehubungan dengan partisipasi dimaksud di atas menyatakan bahwa "semua guru, semua yang bertugas menyampaikan mata pelajaran han.tslah terlebih dahulu memperhatikan akhlak". Ini berarti, penanaman nilai keagamaan kepada siswa bukan hanya tanggung jawab guru mata pelaj aran agama Islam semata.
Secara implisit, ungkapan Athiyah di atas mengisyaratkan bahwa guru harus memperhatikan akhlak atau sikap keagamaan anak sebelum memberikan hal-hal yang berkenaan dengan mata pelajaran clan kegiatan belajar mengajar itu sendiri. Kendatipun ada penanggung jawab utama atau guru yang memegang peranan sentral bagi terlaksananya pembinaan sikap keagamaan (akhlak), yaitu guru agama (guru mata pelajaran pendidikan agama Islam). Oleh karena itu, menurut Fuad Ihsan (2003:147), "kerja sama secara terpadu dari semua unsur di lembaga pendidikan ini merupakan kunci kesuksesan pendidikan agama di sekolah". Dan ini sudah harus terlaksana sejak anak berada di tingkat pendidikan paling dasar (Sekolah Dasar) yang nanti akan terjadi pengembangannya di tingkat sekolah lanjutan. Jika di Sekolah Dasar anak sudah dibiasakan dengan hidup bersih, tertib clan jujur maka di pendidikan tingkat lanjutan hat itu akan dikembangan sehingga tumbuh menjadi suatu kepribadian.
Jadi, guru (apapun mata pelajaran yang dipegangnya) dituntut untuk berpartisipasi membentuk sikap keagamaan yang baik pada siswa dalam setiap melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Atau partisipasi tersebut paling tidak dapat dilakukan dengan cara memberikan dukungan penuh bagi terselenggaranya proses pendidikan agama. Djamas (dalam Nawawi Nurdin 2004:38) menyatakan bahwa "semua guru, bahkan semua civitas akademika berkewajiban untuk melakukan transformasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan kepada peserta didik". Sehubungan dengan itu, Waliono (dalam Nawawi Nurdin) menyatakan bahwa "para guru di bawah tanggung j awab kepala sekolah berkewajiban meningkatkan suasana keagamaan di sekolah". Selanjutnya Mansur Isna (2001:57) menegaskan bahwa "Pendidikan Agama Islam merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari system pendidikan Islam yang berfungsi sangat strategis untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam berbagai disiplin yang dipelajari oleh subjek didik".
Upaya lain yang dapat dilakukan agar sekolah dapat menghasilkan siswa-siswi yang berakhlak mulia atau memiliki sikap keagamaan yang baik adalah sebagai berikut:
- Menyelenggarakan pendidikan agama secara intensif dimana antara teori dan praktek dapat dirasakan oleh anak secara langsung.
- Segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan clan pengajaran hendaknya dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental.
- Pelajaran-pelajaran kesenian, olah raga dan rekreasi harus mengindahkan nilai-nilai agama.
- Guru hendaknya memperhatikan clan membimbing pergaulan anak-anak di lingkungan sekolah. (Zakiah Deradj at, 1994:34).
Item-item yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat di atas mempertegas bahwa guru-guru di sekolah tidak cukup hanya melakukan pekerj aan mengajar atau mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak-anak tetapi seiring dengan itu juga harus melakukan penanaman nilai clan membentuk kepribadian muslim.
Untuk keperluan ini, layanan belajar Pendidikan Agama Islam di sekolah harus relevan dengan visi membentuk kepribadian muslim. Apa yang menj adi kebutuhan siswa dalam konteks membentuk kepribadian muslim harus terlayani secara meksimal. Layanan belajar tersebut antara lain tersedianya guru yang qualified, tersedianya perpustakaan atau bukubuku yang memadai, tersedianya lingkungan yang relevan, tersedianya fasilitas yang mendukung terwujudnya kepribadian muslim, bukan saja dalam fisik seperti musholla atau masjid tetapi juga konsultasi agama at au pembimbing rohani (rohaniawan).
Demikian peran clan partisipasi yang dapat dilakukan sekolah (guru dan karyawan secara umum) dalam pembinaan sikap keagamaan siswa. Bukan hanya guru agama atau guru di kelas tertentu tetapi harus melibatkan semua pihak. Kebijakan sekolah harus mendukung terlaksananya program pembinaan dimaksud.
C. Pendidikan Agama di Masyarakat
Pendidikan agama yang sudah ditata di lingkungan keluarga dan sekolah tidak akan banyak artinya jika tidak diikuti oleh pendidikan agama di lingkungan masyarakat. Dengan kata lain harus ada kesatuan visi, misi clan komitmen antara keluarga, sekolah clan masyarakat.l3E ranjak dari dasar pemikiran ini maka Muhammad Qutub (1984:392) mensinyalir bahwa "sesuatu yang logis yang harus ada dalam metodologi pendidikan Islam adalah tersedianya suatu masyarakat Islam".
Masyarakat Islam yang dimaksud di atas merupakan satu tuntutan yang tidak mudah untuk dipenuhi, apalagi jika dihubungkan dengan kehidupan sosial budaya anak-anak dewasa ini yang sudah teradiasi oleh arus globalisasi informasi. Nilai pendidikan Islam yang sudah diberikan orang tua dan sekolah kepada anak mungkin saja menjadi bias bahkan hilang sama sekali manakala anak tersebut berinteraksi dengan kelompok atau individu-individu lain dalam masyarakat yang heterogen.
Demikian pendidikan agama yang integral antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Integral dalam visi, misi clan komitmen sehingga dapat mewujudkan generasi muda muslim yang beriman, berilmu dan berakhlak mulia.
D. Penutup
Pada akhirnya pembinaan atau pendidikan agama anak dalam rangka menghadapi dekadensi moral era millennium merupakan tanggung jawab orang tua selaku murobbi guna mewujudkan generasi ideal yang dicitacitakan. Anak bukan sekedar penyambung keturunan akan tetapi anak merupakan amanah yang dititipkan Allah SWT kepada kita untuk dibina dan diarahkan sehingga dapat menj alankan kedudukan dan tugasnya sebagai Khalifatullah fil ardh (duta Allah di muka bumi). Selanjutnya, orang tua yang bijaksana sudah tentu akan memilih institusi pendidikan clan tempat bergaul yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ia tanamkan di lingkungan keluarga. Artinya apa yang telah ditanamkan oleh orang tua pada anak di lingkungan keluarga harus berlanjut terus hingga mereka berada di sekolah dan masyarakat.
Orang tua, guru clan masyarakat yang baik adalah orang tua, guru dan masyarakat yang visioner. Artinya mereka punya rumusan ideal untuk menjadi sosok apa anak-anak mereka dalam kurun waktu ke depan. Visi ini kemudian ditindak lanjuti dengan langkah-langkah nyata yang terimplernentasi dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of vallue. Dalam konteks Islam visi tersebut adalah menj adikan anak sebagai seorang yang berkepribadian muslim.
Tulisannya menarik..bagus untuk mendidik......selamat yaa..semoga tulisan-tulisannya dapat bermanfaat bagi kita semua...amin ya robbal alamin...
BalasHapussiiiiiipppppp......semoga bermanfaat.....!!
BalasHapusIt's very gooooodddddddd.........
BalasHapus